Selasa, 11 September 2012

Mau Menjual Diamlah Sejena!



Penulis : Ippho Santosa - Marketer, Producer dan Penulis
Jumat, 28 Maret 2008, Dibaca : 8015 kali | Dicetak : 315 kali | Cetak artikel ini


Ketahuilah, mendengar adalah anak semata wayang dari empati. Nah, perihal sepasang kuping ini, sesaat lagi akan kita bedah habis-habisan, terutama dalam dunia penjualan. Di suatu forum, seorang profesional yang sok tahu pernah berkhotbah, "Seorang penjual hendaklah banyak bicara agar bisa selling. Seorang penjual hendaklah pintar ngomong agar bisa closing. Dengan demikian, pembicaraan bisa didominasi dan lawan bicara bisa dipersuasi."

Betul begitu? Dulu, saya pikir memang begitu sih. Tetapi setelah saya berkubang bertahun-tahun di ranah bisnis, barulah saya melek bahwa itu semua adalah mitos. Sekali lagi, mitos. Thus, pendekatan dangkal seperti inilah yang saya stempel dengan istilah yell-tell-sell atau berteriak-memberitahu-menjual.

Di satu sisi, penjual memang dituntut untuk sedikit talkative, umpamanya untuk memulai pembicaraan serta menyampaikan product knowledge. Namun, di sisi lainnya, penjual juga harus bisa menutup mulut dan membuka telinganya. Mbok ya pelanggan diberi kesempatan untuk bicara. Sesekali, intiplah hubungan sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Kedua belah pihak tahu persis kapan mesti bicara, kapan mesti mendengar.

Anda tahu apa dalilnya? Begini. Ketika pelanggan angkat bicara, berarti penjual berpeluang untuk menggali lebih dalam lagi berbagai keinginan dari pelanggan. Istilah saya, 3 L, yaitu Listening, Learning, Leading. Inilah dalil pertamanya. Dalil kedua, manusia manapun senang didengerin, bukan diceramahin. Dalil ketiga, camkanlah, semua manusia hanya suka disolusiin, bukan dijualin.

Dalil keempat, manusia itu telah dikaruniai dua telinga dan satu mulut. Dua banding satu. Lha, apa hikmahnya? Tolong digarisbawahi, sudah menjadi takdir manusia untuk lebih sering mendengar ketimbang berbicara. Pantas saja Will Smith dalam film Hitch bolak-balik menasihati, "Listen and respond."

Memang, mendengar itu sakti mandraguna. Perkenankan sejenak saya menceritakan pengalaman pribadi saya. Percaya atau tidak, semasa SMA -terutama di kelas dua dan tiga- saya hampir-hampir tidak pernah menenteng buku ke sekolah dan hampir-hampir tidak pernah mencatat penjelasan guru di kelas. Namun demikian, berulang kali saya menjadi juara di kelas, bahkan menjadi mahasiswa undangan di sejumlah kampus favorit. Kok bisa? Kalau boleh jujur, kala guru mengajar, saya hanya mendengarkan. Tepatnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitulah, mendengar itu sakti.

Di antara gadis-gadis yang pernah dekat dengan saya, ada seorang yang sulit saya lupakan. Apakah karena dia sangat cantik? Apakah karena dia sangat pintar? Tidak, tidak. Dia orang biasa-biasa saja. Tetapi satu hal yang membuat saya nyaman bersamanya adalah kesediaannya untuk mendengar. Tepatnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Lagi-lagi, mendengar menunjukkan kesaktiannya.

Kembali soal penjualan. Jadi, penjual terbaik bukanlah penjual yang banyak omong. Penjual terbaik adalah penjual yang bisa membuat pelanggannya banyak omong. Apalagi bila pelanggan mulai cerita macam-macam hingga curhat kepada penjual, wah, itu hebat sekali. Berarti, pelanggan telah percaya penuh kepada penjual.

Kesimpulannya, kalau Anda ingin menjadi penjual, Anda tidak saja melatih diri untuk berbicara, tetapi juga melatih diri untuk mendengar. Wajib itu! Namun, tidak sembarang mendengar, melainkan mendengar dengan empati, di mana penjual sanggup berpikir dalam perspektif pelanggannya. Setuju? Intinya, cobalah terlebih dahulu menelusuri alur pikiran pelanggan. Sejurus setelah memahami kebutuhannya, barulah kemudian Anda menawarkan solusinya. Saya selalu membahasakan: other centric first, then self-centric. Otak kanan dulu, baru otak kiri.

Ippho adalah Creative Marketer (entrepreneur, produser, dan penulis bestseller 10 Jurus Terlarang!)

0 komentar: